Ketika seseorang membicarakan, mendiskusikan,
ataupun sekedar memikirkan tentang agama, kepercayaan, ritual, dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan Tuhan atau ketuhanan, secara sadar atau tidak
sadar, mungkin seseorang tersebut pernah berpikir tentang apakah dirinya benar-benar
percaya akan adanya Tuhan? Mengapa dirinya dapat percaya dengan adanya Tuhan?
Serta bagaimana seseorang tersebut dapat merasakan kehadiran Tuhan yang dapat
dikatakan sesuatu yang tidak nyata atau real?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut
memang sedikit “mengerikan”. Mengerikan? Ya, jelas. Mengerikan bagi orang-orang
yang menempatkan pikiranny secara rasional dan hatinya untuk merasakan
bagaimana kehadiran Tuhan dengan proporsi yang sama, yaitu 50% berbanding 50%. Atau
bahkan proporsi pikirannya secara rasional lebih besar daripada proporsi
hatinya yang berperasaan.
Secara pribadi, saya mungkin
bukanlah seseorang yang menempatkan pikiran rasional dan hati yang berperasaan
dengan proporsi yang sama. Karena saya merasa, pasti ada saatnya setiap orang
menempatkan pikiran rasionalnya dan hatinya dengan proporsi pikiran rasional
lebih besar daripada hati yang berperasaan (ketika seseorang itu belum
merasakan sesuatu hal yang berarti dalam kehidupannya, sangat merasa pikiran
rasional-lah yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya), proporsi antara pikiran
rasional dan hati yang berperasaan sama besarnya (ketika seseorang itu menempatkan
pikiran rasional dan hati yang berperasaan untuk merasakan kehadiran Tuhan adalah
sesuatu hal yang tidak mempunyai pengaaruh besar dalam kehidupannya), dan proporsi
pikiran rasional lebih kecil daripada hati yang berperasaan (ketika seseorang
sudah dapat merasakan sesuatu hal yang berarti dalam kehidupannya dan percaya hal
itu berasal dari Tuhan).
Saya pun secara tidak sadar
mengalami ketiga proporsi tersebut. Ketika saya memikirkan asal-muasal atau
sejarah segala sesuatu yang ada dalam kehidupannya ini, khususnya hal-hal yang
berkaitan secara langsung dalam kehidupan saya dan tidak dapat diterima secara
rasional, pada saat inilah saya menempatkan proporsi pikiran secara rasional
lebih besar daripada hati yang berperasaan. Tetapi untuk sekarang ini, saya
merasa bahwa saya telah menempatkan proporsi pikiran secara rasional lebih
kecil daripada hati yang berperasaan, karena saya sudah dapat merasakan campur
tangan Tuhan dan peran Tuhan dalam kehidupan saya. Walaupun mungkin secara
tidak sadar proporsi tersebut dapat saja berubah sewaktu-waktu tergantung
bagaimana pikiran secara rasional berpikir dan yang yang berperasaan merasakan.
Apakah saya memang benar-benar
percaya akan adanya Tuhan? Mengapa saya dapat percaya dengan adanya Tuhan?
Serta bagaimana saya dapat merasakan kehadiran Tuhan yang dapat dikatakan
sesuatu yang tidak nyata atau real?
Ketika
saya telah mengutarakan saya menempatkan proporsi pikiran secara rasional lebih
kecil daripada hati yang berperasaan untuk saat ini, hal ini dapat menjadi suatu
bukti bahwa saya memang percaya akan adanya Tuhan. Salah satu alasan yang dapat
membuat saya percaya adalah karena saya sudah dapat merasakan kehadiran-Nya
melalui hal-hal penting dan berarti dalam kehidupan saya. Seperti contoh,
hal-hal yang dapat dikatakan suatu keberuntungan bagi saya dan bukanlah suatu
kebetulan semata, saya menganggap itu semua Tuhan-lah yang bekerja. Walaupun
mungkin terkadang tidak dapat diterima pikiran secara rasional.
Dapat merasakan kehadiran-Nya
melalui hal-hal penting dan berarti dalam kehidupan, terdengar aneh memang. Terlebih
lagi Tuhan merupakan sesuatu yang tidak nyata atau real. Sebenarnya, bagi mereka yang menempatkan proporsi pikiran
secara rasional lebih kecil daripada hati yang berperasaan atau mereka yang
percaya dengan keberadaan Tuhan, dapat merasakan dan menerima kehadiran-Nya
karena berbagai hal, seperti: hal-hal positif yang berpengaruh besar terhadap
kehidupan mereka (berkat dan rahmat kesehatan), mukjizat atau hal-hal yang
tidak mungkin terjadi dalam kehidupan tetapi dapat terjadi (penyakit keras yang
sembuh dengan tiba-tiba), dan lain sebagainya. Begitu pun dengan saya dalam
memaknai kehadiran-Nya.
Salah satu yang menjadi identitas
saya tak lain adalah, saya adalah seorang Katolik, dimana Tuhan yang saya
percaya adalah Tuhan Yesus Kristus. Dalam membicarakan seperi apa Tuhan Yesus
yang sebenarnya, saya pun terkadang sedikit bingung dalam menjawab dan
menjelaskan secara detail. Tetapi satu hal yang saya ketahui tentang-Nya ialah
Ia merupakan “Bapa” terbaik dalam hidup saya. Ia mempunyai peran yang sangat
luar biasa penting dalam kehidupan saya sebelum orang-orang penting dalam
kehidupan saya, seperti orang tua, keluarga, guru/dosen, dan juga teman.
Dalam Katolik, mungkin terlihat kami
menyambah patung ataupun sebuah salib yang dalam dijadikan sebagai simbol
identitas kami. Bukan berarti kami menyembah berhala, tetapi jauh lebih
bermakna lagi di balik simbol tersebut terdapat makna dan kekuatan serta
kepercayaan tersendiri dari kami. Sama halnya dengan mereka yang mengaku
dirinya sebagai Islam terhadap Ka’bah. Hal ini mungkin dapat saya refleksikan
terhadap teori agama sebagai animisme yang merupakan cetusan dari tokoh-toko
besar, seperti Taylor dan Fraze.
*Fransiska Indah Kristiani
*2010110012