Rabu, 07 Desember 2011

"Membicarakan" Tuhan .. ?


            Ketika seseorang membicarakan, mendiskusikan, ataupun sekedar memikirkan tentang agama, kepercayaan, ritual, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan Tuhan atau ketuhanan, secara sadar atau tidak sadar, mungkin seseorang tersebut pernah berpikir tentang apakah dirinya benar-benar percaya akan adanya Tuhan? Mengapa dirinya dapat percaya dengan adanya Tuhan? Serta bagaimana seseorang tersebut dapat merasakan kehadiran Tuhan yang dapat dikatakan sesuatu yang tidak nyata atau real?
            Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang sedikit “mengerikan”. Mengerikan? Ya, jelas. Mengerikan bagi orang-orang yang menempatkan pikiranny secara rasional dan hatinya untuk merasakan bagaimana kehadiran Tuhan dengan proporsi yang sama, yaitu 50% berbanding 50%. Atau bahkan proporsi pikirannya secara rasional lebih besar daripada proporsi hatinya yang berperasaan.
            Secara pribadi, saya mungkin bukanlah seseorang yang menempatkan pikiran rasional dan hati yang berperasaan dengan proporsi yang sama. Karena saya merasa, pasti ada saatnya setiap orang menempatkan pikiran rasionalnya dan hatinya dengan proporsi pikiran rasional lebih besar daripada hati yang berperasaan (ketika seseorang itu belum merasakan sesuatu hal yang berarti dalam kehidupannya, sangat merasa pikiran rasional-lah yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya), proporsi antara pikiran rasional dan hati yang berperasaan sama besarnya (ketika seseorang itu menempatkan pikiran rasional dan hati yang berperasaan untuk merasakan kehadiran Tuhan adalah sesuatu hal yang tidak mempunyai pengaaruh besar dalam kehidupannya), dan proporsi pikiran rasional lebih kecil daripada hati yang berperasaan (ketika seseorang sudah dapat merasakan sesuatu hal yang berarti dalam kehidupannya dan percaya hal itu berasal dari Tuhan).
            Saya pun secara tidak sadar mengalami ketiga proporsi tersebut. Ketika saya memikirkan asal-muasal atau sejarah segala sesuatu yang ada dalam kehidupannya ini, khususnya hal-hal yang berkaitan secara langsung dalam kehidupan saya dan tidak dapat diterima secara rasional, pada saat inilah saya menempatkan proporsi pikiran secara rasional lebih besar daripada hati yang berperasaan. Tetapi untuk sekarang ini, saya merasa bahwa saya telah menempatkan proporsi pikiran secara rasional lebih kecil daripada hati yang berperasaan, karena saya sudah dapat merasakan campur tangan Tuhan dan peran Tuhan dalam kehidupan saya. Walaupun mungkin secara tidak sadar proporsi tersebut dapat saja berubah sewaktu-waktu tergantung bagaimana pikiran secara rasional berpikir dan yang yang berperasaan merasakan.
            Apakah saya memang benar-benar percaya akan adanya Tuhan? Mengapa saya dapat percaya dengan adanya Tuhan? Serta bagaimana saya dapat merasakan kehadiran Tuhan yang dapat dikatakan sesuatu yang tidak nyata atau real?
Ketika saya telah mengutarakan saya menempatkan proporsi pikiran secara rasional lebih kecil daripada hati yang berperasaan untuk saat ini, hal ini dapat menjadi suatu bukti bahwa saya memang percaya akan adanya Tuhan. Salah satu alasan yang dapat membuat saya percaya adalah karena saya sudah dapat merasakan kehadiran-Nya melalui hal-hal penting dan berarti dalam kehidupan saya. Seperti contoh, hal-hal yang dapat dikatakan suatu keberuntungan bagi saya dan bukanlah suatu kebetulan semata, saya menganggap itu semua Tuhan-lah yang bekerja. Walaupun mungkin terkadang tidak dapat diterima pikiran secara rasional.
            Dapat merasakan kehadiran-Nya melalui hal-hal penting dan berarti dalam kehidupan, terdengar aneh memang. Terlebih lagi Tuhan merupakan sesuatu yang tidak nyata atau real. Sebenarnya, bagi mereka yang menempatkan proporsi pikiran secara rasional lebih kecil daripada hati yang berperasaan atau mereka yang percaya dengan keberadaan Tuhan, dapat merasakan dan menerima kehadiran-Nya karena berbagai hal, seperti: hal-hal positif yang berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka (berkat dan rahmat kesehatan), mukjizat atau hal-hal yang tidak mungkin terjadi dalam kehidupan tetapi dapat terjadi (penyakit keras yang sembuh dengan tiba-tiba), dan lain sebagainya. Begitu pun dengan saya dalam memaknai kehadiran-Nya.
            Salah satu yang menjadi identitas saya tak lain adalah, saya adalah seorang Katolik, dimana Tuhan yang saya percaya adalah Tuhan Yesus Kristus. Dalam membicarakan seperi apa Tuhan Yesus yang sebenarnya, saya pun terkadang sedikit bingung dalam menjawab dan menjelaskan secara detail. Tetapi satu hal yang saya ketahui tentang-Nya ialah Ia merupakan “Bapa” terbaik dalam hidup saya. Ia mempunyai peran yang sangat luar biasa penting dalam kehidupan saya sebelum orang-orang penting dalam kehidupan saya, seperti orang tua, keluarga, guru/dosen, dan juga teman.
            Dalam Katolik, mungkin terlihat kami menyambah patung ataupun sebuah salib yang dalam dijadikan sebagai simbol identitas kami. Bukan berarti kami menyembah berhala, tetapi jauh lebih bermakna lagi di balik simbol tersebut terdapat makna dan kekuatan serta kepercayaan tersendiri dari kami. Sama halnya dengan mereka yang mengaku dirinya sebagai Islam terhadap Ka’bah. Hal ini mungkin dapat saya refleksikan terhadap teori agama sebagai animisme yang merupakan cetusan dari tokoh-toko besar, seperti Taylor dan Fraze.


*Fransiska Indah Kristiani
*2010110012

Rabu, 02 November 2011

Who is Indah .. ??

A lot of prejudice when someone looks up to finally meet with me (with appropriately) for the first time, either on the character or identity of myself. After knowing about me more, they express it with innocent and honestly, like "When I first knew you, you look really Jutek”, you know!" Or "The first time I knew you, I guess you Moslem. But I'm confused, how come you have never seen praying. I almost want to invite prayers, Ndah.." Or "Earlier I saw you, you seem grumpy person deh.." And so on.

I think this prejudice has been or will even be something unusual for me. So far, many people who are newly met with me have more or less prejudice like that. But, the thing that sometimes makes me confused is why many people precisely assess or prejudice of the identity of a person with a face that seemed to be a benchmark in this assessment?
For example, some friends admit that they have a prejudice toward me, which the prejudices of my face was used as the starting measuring. One of my friends said, "Your face like the Batak people, Ndah. Because of that I think you are the Batak people. Hey, in fact you are Javanese.." Or any other friend who said, "Your face don’t like those non-Muslims (read: Christian), Ndah. Your face looks more Islamic.." When I heard confessions from them, honestly, I was surprised and funny. How can it be?? I was shocked and thought it was funny because its prejudice is what maybe said to prejudice the less reasonable. But it just became my secret and God. I just know it and very grateful for their honesty about the prejudice toward me, although maybe I could do nothing to clarify it through words. But I believe, over time the prejudices that will really show the "real value", that I am a Javanese and I am Catholic. And I am proud of my identity :D

Selasa, 04 Oktober 2011

It's Me :)


LEBAH. Hewan yang satu ini saya gunakan untuk mendeskripsikan diri saya untuk saat ini.
Dalam memandang kehadiran seekor lebah, terdapat dua sudut pandang sebagai penilaian dari seseorang terhadap hewan ini.
Pertama, seseorang memandang sebagai seekor hewan yang galak, waspada, dan jahat, jika dilihat dari sudut pandang "sengat"-nya yang memang dikenal menyakitkan.
Kedua, seseorang memandang sebagai seekor hewan yang baik, rajin, pekerja keras, dan juga manis, jika dilihat dari sudut pandang "madu"-nya yang memang dikenal manis dan berkhasiat bagi kesehatan.
Melihat dari dua sudut pandang tersebut, saya mendeskripsikan diri saya terhadap hewan ini. Alasannya ..??
Ya, alasannya adalah jika saya merefleksikan diri saya sendiri dan juga dari penilaian orang lain, terutama orang-orang sekitar saya. Sudut pandang pertama bermakna bahwa diri saya terkadang memang terkesan galak, waspada bahkan jahat. Hal ini dapat dilihat melalui sebagian dari diri saya, yaitu "JUTEK" melalui raut wajah dan nada bicara atau galak.
Penilaian ini biasanya saya dapatkan dari orang-orang sekitar saya pada kesan pertama berjumpa. Atau orang lain yang memang belum mengenal saya.Sedangkan sudut pandang kedua bermakna bahwa diri saya sebenarnya baik, rajin, pekerja keras, dan manis :)
Jika seseorang yang belum mengenal saya atau bahkan sudah mengenal saya memiliki kesan pertama bahwa saya JUTEK ataupun galak seperti halnya sudut pandang pertama, berarti mereka belum benar-benar mengenal saya :p
Sebenarnya saya adalah seorang yang manis, rajin, pekerja keras, dan baik hati :D


*Trust me :D


God bless :)

Senin, 03 Oktober 2011

Nama = Doa

-iStockphoto-
“Apalah arti sebuah nama .. ??” Mungkin pertanyaan sederhana tersebut seringkali terdengar di telinga kita, bahkan mungkin terlintas di pikiran kita. Tetapi banyak dari sebagian orang yang melihat arti dari nama mereka secara sepele. Bahkan tak terima akan pemberian nama yang sudah melekat dan menjadi identitas mereka.
Sejatinya, nama seseorang memanglah memiliki sebuah arti yang cukup bermakna. Entah hanya kata yang sebetulnya terdiri dari penggabungan nama orang tua mereka, kata yang diambil dari nama keluarga atau marga, bahkan kata yang akhirnya menjadi identitas seseorang yang diambil atau diadopsi dari buku pegangan dalam keyakinan atau kepercayaan seseorang tersebut, seperti Alkitab, Al-quran, dan lain sebagainya.
Fransiska Indah Kristiani. Nama yang tercatat dalam peradaban dunia sebagai identitas dari seorang wanita yang terlahir pada tanggal enam Oktober, 19 tahun lalu. Panggil saja wanita ini sebagai Indah dan sayalah wanita tersebut. Saya mendapatkan nama tersebut tentulah dari kedua orang tua saya. Nama lengkap saya yang terdiri dari tiga nama itu tentulah memiliki maknanya tersendiri. Jika dilihat dari nama yang menjadi identitas saya, tidak terdapat satupun yang menggambarkan bahwa saya adalah seorang Jawa.
Fransiska, sebuah nama baptis yang saya dapatkan dari gereja. Fransiska diambil dari nama seorang santa dari Itali yang bernama Fransiska Xaveria Cabrini. Melalui nama ini, saya diharapkan untuk dapat berperilaku dan meneladani Santa Fransiska Xaveria Cabrini, untuk dapat menolong sesamanya dan dapat menjadi seorang wanita yang kuat.
Indah, nama yang mungkin sangat mudah untuk mengetahui maknanya. Ya, memang sangatlah mudah. Melalui nama ini, saya diharapkan untuk menjadi seoarang wanita yang indah, cantik, ayu, anggun, lembut, dan wanita yang diharapkan pada umumnya. Walaupun nama yang saya jadikan sebagai nama panggilan saya ini memang sudah biasa, tetapi menurut saya nama inilah yang sangat bermakna karena pemberian dari kedua orang tua saya.
Kristiani, nama belakang yang menjadi salah satu identitas saya, yaitu seorang Kristiani – Katholik. Melalui nama ini, saya diharapkan untuk dapat menjadi seseorang yang dapat berperilaku sebagai seorang Kristian yang taat.
Pada awalnya, saya berpikir dapatkah saya memiliki nama Bruno, yang merupakan nama Santo yang berasal dai Prancis? Jelaslah tidak, karena nama tersebut selayaknya menjadi sebuah identitas bagi seorang lelaki. Enam Oktober-lah yang menjadi awal pemikiran saya akan nama Bruno tersebut. Tanggal dimana saya dilahirkan, begitu pula dengan Santo Bruno.
Jika diberi kesempatan untuk mengubah nama saya menjadi suatu nama yang lebih baik, jawabannya adalah “Tidak, terima kasih.” Karena menurut saya dengan nama tersebut, saya sudah merasa mendapatkan doa dan berkah dari kedua orang tua saya. Nama yang sangat indah dengan pertimbangan yang sangat bijaksana dari kedua orang tua saya.

*God Bless :)

Rabu, 28 September 2011

Perbedaan itu Indah


“Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau. Anggap semua pelajaran mudah dan semua akan menjadi mudah. Jangan takut pada pelajaran apapun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua.” (Bumi Manusia, p.310)
Ketika awal pertama kali saya membaca buku Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer dan menemukan kutipan ini, saya baru menyadari tentang gaya belajar saya yang menjadi salah satu cermin bagaimana saya menghargai diri saya sendiri. Seperti contoh, ketika saya merasa didera atau tertekan akan tugas-tugas ataupun tentang hal-hal yang sedang saya pelajari, pada saat itu pula saya tidak menghargai diri saya sendiri. Bagaimana tidak? Ketika saya berada dalam posisi seperti itu, secara tidak langsung saya tidak percaya akan kemampuan diri saya sendiri untuk melewatinya.
Jujur, pada awalnya belum terpikirkan oleh saya akan mempelajari hal baru apa dalam mata kuliah Humanistic Studies di semester 3 ini. Namun setelah pertemuan perdana dengan salah satu dosen yang tak asing lagi bagi saya, yaitu Bapak Hatim Gazali, saya merasa tertantang terhadap hal baru ini. Semua hal tentang agama, budaya, isu-isu terhangat, dan lainnya. Selama saya mempelajari mata kuliah ini, saya berharap banyak hal yang akan saya dapatkan. Tidak hanya sekedar materi belaka tetapi juga pengalaman-pengalaman baru yang nantinya dapat merubah saya menjadi individu yang lebih baik lagi, seperti dapat bertukar pikiran dengan yang lain, berpikiran terbuka, membangun pikiran positif, menghargai orang lain, dan sebagainya.
Saat pertemuan perdana tersebut juga disebutkan bahwa mata kuliah ini akan membahas segala keanekaragaman di sekitar kita. Awalnya saya merasa takut, karena di kelas ini juga akan membahas isu-isu agama ataupun perbedaan lainnya yang menurut saya sangat sensitif. Terlebih lagi hanya saya seorang yang memegang Katholik sebagai identitas. Memang hanya saya, tetapi saya merasa bukan sebagai minoritas hanya jumlahnya saja yang terbatas (Saputra, 2011). Ketakutan itu muncul karena kekhawatiran saya akan argumen atau informasi yang akan saya sampaikan mengenai identitas saya agak melenceng.
Berbicara tentang perbedaan, mungkin memang sangat klasik jika kita mendengar kalimat “Perbedaan itu Indah”. Tetapi disadari atau tidak, dengan adanya perbedaan itulah kita belajar bagaimana untuk dapat menghargai satu sama lain. Seharusnya perbedaan dapat membuat kita merasa kaya akan keanekaragaman itu, dimana kita dapat saling melengkapi. Tetapi terkadang jika kita melihat kenyataan di sekitar kita, justru perbedaan itu yang menjadi awal dari permusuhan antar kelompok, bahkan perpecahan. Sangat memprihatinkan memang.
Bagaimana tidak? Terkadang mereka yang terlibat dalam perbedaan itu justru mudah untuk terprovokasi dalam hal mendasar atau hal sepele lainnya. Mengapa mereka mudah tergoyahkan akan informasi yang tidak jelas yang akhirnya merusak keindahan dari perbedaan itu sendiri? Harusnya perbedaan yang ada justru dapat menjadi alasan mengapa mereka tetap bertahan berada di kelompok mereka dan membangun hubungan baik dengan beranggapan bahwa perbedaan itulah yang justru menjadi jembatan bagi kita yang memang berbeda untuk membuat suatu yang baik.
Bagi kita yang memang mengalami perbedaan atau berada dalam suatu perbedaan, memang harus sebijak mungkin dalam berperilaku dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan perbedaan itu sendiri. Tanpa menyakiti dan merusak keindahan dari perbedaan itu, tentunya.

Akankah kalian menjadi seorang yang buruk di dalam perbedaan yang baik?
atau
Akankah kalian menjadi seorang yang baik di dalam perbedaan yang buruk?


Semua itu pilihan anda :)


God bless :D

Kamis, 22 September 2011

*Fransiska Indah Kristiani .. e-Reflection on First Meeting :)

Today is the first meeting on PETA subject. My PETA lecturer is Miss Lydia. I hope i can find the chemistry with her :) . So I feel enjoy, safe, and comfort on her class and this subject too.
PETA is Principles of Effective Teaching and Assessment. Ya, effective teaching and assessment. Both of them are an important thing for to be a teacher. For my personally, I hope this subject can help me to control class situation and know the character of students when my class progress, and also make an effective teaching.
For assessment, on my personally I still confuse about that on the fact when my class progress. I mean, I confuse for display that to be the data :(
When the first meeting also remembering me about my dream, my goals for to be a teacher. Something and someone which inspiring me for to be a teacher. But actually, for now I have not been felt be a really teacher. Because when I teaching last month on Elementary School, I still find it difficult for make our students calm down :(
I have on this subject I can learn more about effective teaching and assessment for my class future :)

God bless you all ;)




*Fransiska Indah Kristiani
2010110012

Selasa, 16 November 2010

5th article

IELL 2 ,,

· Title article : Has Indonesia Failed to Protect Its Citizens?

· Author : Svetlana Anggita Prasasthi, Jakarta

· Source :

Retrieved from : http://www.thejakartapost.com/paper

On November 9th 2010

Has Indonesia Failed to Protect Its Citizens?

Svetlana Anggita Prasasthi, Jakarta | Sun, 09/19/2010 10:54 AM | Opinion

As a Muslim, the assaults of two Batak Christian Protestant Church (HKBP) leaders on Sept. 12, for me and for many Indonesians, regardless their religion, is shocking.

This occurred in Indonesia, where people take pride in their nation’s internationally recognized reputation as a peaceful, tolerant and democratic nation. Religion is the anchor in the everyday life of most Indonesians, either as a part of their character, or as a part of the nation’s identity.

Indonesians are proud to have the 1945 Constitution as the foundation of our nation, and are equally proud of the state ideology Pancasila and its first principle, Belief in One God.

The constitution guarantees the protection of freedom of religion, including every person’s freedom to worship according to his or her religion and beliefs.

After Indonesia transformed into a full democracy in 1998, the nation also ratified international human rights conventions that guarantee freedom of religion and belief without discrimination.

However, in reality, as reported by the local and international media and many human rights reports, many Indonesians continue to face religious hardship.

The situation is worse for persons who do not have a religion or faith, or if their beliefs are not recognized by the state. Every Indonesian must have an official religion, a policy which is contrary to international human rights laws that acknowledge agnostic and even atheist views.

Another sad example is demonstrated by the present poor condition of the Ahmadis in Indonesia. They are not only facing religious discrimination and violence that has led to economic hardship, the Indonesian government even issued a Joint Decree (SKB) which ruled that Ahmadiyah followers have only two options: They can continue their present religious activities but they will not be acknowledged by the state as Muslims, or change their teachings and practices in accordance with mainstream Islam.

This decision very unfair for the Ahmadis, because aside from the obvious human rights implications, expecting them to acknowledge they are not equal Muslims is asking them to commit an apostasy against themselves as Ahmadis.

The freedom of religion or faith should never be compromised under any circumstance, even under a public state of emergency.

Following the violent attacks on the two HKBP church leaders, authorities in Bekasi said on Monday that they had warned the congregation not to hold services in Ciketing, where the crime took place.

The incident could have been seen as a direct result of a lack of protection by the State, its failure to uphold religious freedom, and especially to secure the rights for followers to assemble for worship — and this was not the first attack on the church.

Still, the government regards the problem as no more than an “administrative issue” or a “purely criminal act”.

Jakarta Police chief Insp. Gen. Timur Pradopo said the police’s preliminary investigation concluded the assaults were “purely criminal”, adding that police had found no link to recent interfaith conflicts (The Jakarta Post, Sept. 13).

The state has a constitutional obligation to ensure that all citizens have full freedom of religion and the guaranteed right to practice their faith. Violating one’s right to worship according to one’s religion is a serious violation of human rights.


The writer is a law faculty graduate from Gadjah Mada University.

By : Fransiska Indah Kristiani

(2010110012)

Math Departement

Summary of the article :

Attack incidents against the leader of the Protestant Christian Batak Church (HKBP) 12 September, enough to surprise many people in Indonesia, regardless of their religion.

This happened in Indonesia, where people take pride in their country is internationally renowned as a peaceful nation, tolerant and democratic. But in fact, freedom of religion and belief still not sure. Indonesia in 1945 Constitution, which guarantees the protection of religious freedom, including freedom of everyone to worship in accordance with their religion or belief. Although in 1998. where countries have also ratified the international conventions on human rights, which guarantee freedom of religion or belief, without discrimination.

Another example of the Ahmadis in Indonesia. They are not only dealing with religious discrimination and violence that have caused economic hardship, the Indonesian government even issued a joint decree (SKB), which ruled that Ahmadiyah followers have only two choices: They can continue their religious activities but they will not be recognized by the state as a Muslim, or change their teachings and practices in accordance with mainstream Islam.

This decision is grossly unfair to the Ahmadiyya, because it violates human rights as the Ahmadis. Freedom of religion or belief should not be compromised under any circumstances, even under a state of public emergency.

This incident could have been seen as a direct consequence of the lack of protection by the State, the lack of respect for freedom of religion, and especially to ensure the rights of fans - and this is not the first attack against the Church.

However, the Government considers the problem as nothing more than a "management problems" or "purely criminal act".

State has the constitutional obligation to ensure that all citizens have full freedom of religion and guarantees the right to practice their faith.

Violate the right of a person of worship according to one's religion is a serious violation of human rights.

Comment :

I think this article is less systematic and not focus on one discussion. In another sense, this article discusses the specifics, but there is overlap with the discussion.

Issues discussed in this article by sukup sensitive writer, but writers with good positions itself as a neutral party.

The authors also discuss the problem, climax, and solutions. As a religious question, with the climax of the discussion more specific to the problem of violence and human rights HKBP and Ahmadis, and solutions that states have a constitutional obligation to ensure that all citizens have full freedom of religion and guarantees the right to practice their faith.

By : Fransiska Indah Kristiani

(2010110012)

Math Departement