Rabu, 28 September 2011

Perbedaan itu Indah


“Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau. Anggap semua pelajaran mudah dan semua akan menjadi mudah. Jangan takut pada pelajaran apapun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua.” (Bumi Manusia, p.310)
Ketika awal pertama kali saya membaca buku Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer dan menemukan kutipan ini, saya baru menyadari tentang gaya belajar saya yang menjadi salah satu cermin bagaimana saya menghargai diri saya sendiri. Seperti contoh, ketika saya merasa didera atau tertekan akan tugas-tugas ataupun tentang hal-hal yang sedang saya pelajari, pada saat itu pula saya tidak menghargai diri saya sendiri. Bagaimana tidak? Ketika saya berada dalam posisi seperti itu, secara tidak langsung saya tidak percaya akan kemampuan diri saya sendiri untuk melewatinya.
Jujur, pada awalnya belum terpikirkan oleh saya akan mempelajari hal baru apa dalam mata kuliah Humanistic Studies di semester 3 ini. Namun setelah pertemuan perdana dengan salah satu dosen yang tak asing lagi bagi saya, yaitu Bapak Hatim Gazali, saya merasa tertantang terhadap hal baru ini. Semua hal tentang agama, budaya, isu-isu terhangat, dan lainnya. Selama saya mempelajari mata kuliah ini, saya berharap banyak hal yang akan saya dapatkan. Tidak hanya sekedar materi belaka tetapi juga pengalaman-pengalaman baru yang nantinya dapat merubah saya menjadi individu yang lebih baik lagi, seperti dapat bertukar pikiran dengan yang lain, berpikiran terbuka, membangun pikiran positif, menghargai orang lain, dan sebagainya.
Saat pertemuan perdana tersebut juga disebutkan bahwa mata kuliah ini akan membahas segala keanekaragaman di sekitar kita. Awalnya saya merasa takut, karena di kelas ini juga akan membahas isu-isu agama ataupun perbedaan lainnya yang menurut saya sangat sensitif. Terlebih lagi hanya saya seorang yang memegang Katholik sebagai identitas. Memang hanya saya, tetapi saya merasa bukan sebagai minoritas hanya jumlahnya saja yang terbatas (Saputra, 2011). Ketakutan itu muncul karena kekhawatiran saya akan argumen atau informasi yang akan saya sampaikan mengenai identitas saya agak melenceng.
Berbicara tentang perbedaan, mungkin memang sangat klasik jika kita mendengar kalimat “Perbedaan itu Indah”. Tetapi disadari atau tidak, dengan adanya perbedaan itulah kita belajar bagaimana untuk dapat menghargai satu sama lain. Seharusnya perbedaan dapat membuat kita merasa kaya akan keanekaragaman itu, dimana kita dapat saling melengkapi. Tetapi terkadang jika kita melihat kenyataan di sekitar kita, justru perbedaan itu yang menjadi awal dari permusuhan antar kelompok, bahkan perpecahan. Sangat memprihatinkan memang.
Bagaimana tidak? Terkadang mereka yang terlibat dalam perbedaan itu justru mudah untuk terprovokasi dalam hal mendasar atau hal sepele lainnya. Mengapa mereka mudah tergoyahkan akan informasi yang tidak jelas yang akhirnya merusak keindahan dari perbedaan itu sendiri? Harusnya perbedaan yang ada justru dapat menjadi alasan mengapa mereka tetap bertahan berada di kelompok mereka dan membangun hubungan baik dengan beranggapan bahwa perbedaan itulah yang justru menjadi jembatan bagi kita yang memang berbeda untuk membuat suatu yang baik.
Bagi kita yang memang mengalami perbedaan atau berada dalam suatu perbedaan, memang harus sebijak mungkin dalam berperilaku dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan perbedaan itu sendiri. Tanpa menyakiti dan merusak keindahan dari perbedaan itu, tentunya.

Akankah kalian menjadi seorang yang buruk di dalam perbedaan yang baik?
atau
Akankah kalian menjadi seorang yang baik di dalam perbedaan yang buruk?


Semua itu pilihan anda :)


God bless :D

1 komentar:

  1. Good posting,
    essay yang mengalir, hidup dan enak dibaca

    Kekhawatiran untuk mendiskusikan agama kepada orang-orang yang tidak menjadikan agama sebagai concern-nya selalu muncul. Agama memang dianggap sebagai isu sensitif. Pertanyaanya, apakah dengan tidak mendiskusikan isu-isu sensitif tersebut seluruh masalah yang ada di dalamnya akan terselesaikan? Apakah dengan menghindari diskusi agama--karena dianggap sensitif--hubungan antar agama akan berjalan baik?

    Memang, terkesan mudah sekali mengatakan bahwa perbedaan itu indah. Bagaimana kita bisa mengatakan demikian kepada orang-orang yang fanatik dan mengkalim dirinya paling benar?

    BalasHapus